English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Lestarikan Budaya Asli Indonesia yang berlandaskan Syariat Agama Islam Pasti Akan Memperkuat Jati Diri Bangsa! Bagian Iklan Hubungi (021)27101381 - 081385386583


Informasi berita tentang kandidat caleg, pemilukada dan pilpres di Indonesia - Kontak Redaksi: (021)271.01.381 - (021)606.36235, Hotline: 08787.882.1248 - 081.385.386.583

Galeri Kegiatan Perguruan Silat Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir

. klinikherbalis.com .-

Tampilkan postingan dengan label Pencak Silat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pencak Silat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Januari 2012

KEJUARAAN PENCAK SILAT TERBUKA P.S. T.T.K.D.H.

PERTANDINGAN KEJUARAAN TERBUKA
PERGURUAN SILAT TJIMANDE TARIKOLOT KEBON DJERUK HILIR
MEMPEREBUTKAN PIALA GUBERNUR DKI JAKARTA
GEDUNG OLAH RAGA & REKREASI CIRACAS JAKTIM - DKI JAKARTA - 2012
Tanggal 27, 28 dan 29 April 2012

I. PENDAHULUAN

Sebagai realisasi dalam pelaksanaan progam peningkatan kemampuan para anggota seni beladiri pencak silat TTKDH yang menyebar ke pelosok negeri dan langkah awal menyeragamkan keterampilan, keahlian dalam gerakan beladiri yang sebenarnya agar supaya keaslian seni beladiri Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir tidak hilang ditelan masa.

Rabu, 11 Januari 2012

300 Atlet Pencak Silat Ikuti Seleksi di Selong

MATARAM, KOMPAS.com
Sebanyak 330 atlet pencak silat dari 11 provinsi akan mengikuti seleksi di Selong, ibu kota Lombok Timur, Nusa Teggara Barat.

Pertandingan ini merupakan bagian dari Pra PON XVIII 2012, sekaligus ujian bagi tiap Daerah yang melaksanakan Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda), guna memastikan atletnya mendapatkan tiket ke Pekanbaru, Riau.

"Kami berharap, dalam seleksi ini, NTB meloloskan atlet sebanyak-banyaknya, mengingat pencak silat adalah salah satu cabang olahraga unggulan kami," ujar Kasdiono, Ket ua KONI NTB, hari Sabtu (7/1/2012) di Mataram.


Seleksi yang berlangsung 23-30 Januari di Selong, sekitar 50 kilometer timur Mataram, ibu kota NTB ini dinilai sebagai persiapan, kajian, dan analisa peluang atas cabang olahraga (cabor) yang dipilihnya guna mengukir hasil terbaik di PON XVIII di Pekanbaru nanti.

Dua atlet andalan pencak silat NTB, yaitu I Komang Wahyu dan Maryati, bisa mengatasi lawan-lawannya dalam seleksi itu. Wahyu adalah peraih medali emas SEA Games Laos 2009, dan Maryati peraih medali perak SEA Games 2011.

Mengenai target dalam PON XVIII, Andy Hadianto, Ketua Panitia Pelatda NTB, mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB menargetkan 10 emas. Medali-medali emas itu diharapkan dari cabor unggulan seperti atletik, kempo, tarung derajat, volley pasir, tinju dan pencak silat.

Target itu lebih besar dibandingkan dengaan PON XVII Samarinda, Kaltim. Saat itu kontingen NTB meraih tiga emas, tiga perak, dan sembilan perunggu.

"Untuk mencapai target itu tidak didukung dana yang memadai. Saya dengar DPRD NTB hanya menggelontorkan anggaran Rp 2,5 miliar untuk kegiatan PON," ucap Kasdiono.

Padahal dengan hasil PON Samarinda, KONI NTB didukung Rp 6 miliar. KONI daerah lain, dengan target 10 emas disediakan anggaran Rp 10 miliar.

Minimnya anggaran yang dialokasikan itu, menurut Kasdiono dan Andy Hadianto, tidak membuat Tim PON NTB berkecil hati. Hal itu malah menjadi pemicu dan pemacu semangat meraih prestasi terbaik.

KONI NTB berharap adanya partisipasi dan sumbangsih banyak pihak, seperti pengusaha dan kalangan swasta lain, demi mengangkat nama dan citra NTB di bidang olahraga.

Selasa, 10 Januari 2012

Konflik Jawara Silat Antar Harwanto Jadi Doktor

Image: corbis.com
MARAKNYA bentrok antaranggota perguruan silat menarik perhatian Harwanto dosen Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya. Dia meneliti fenomena kekerasan antarpesilat yang seringkali membuat repot aparat keamanan.

Hasilnya, Harwanto meraih gelar doktor ilmu keolahragaan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Dalam disertasinya, Harwanto fokus meneliti kekerasan antaranggota perguruan silat di Kabupaten Madiun. Penelitian itu pun sukses dengan judul "Konflik Kekerasan Antarkelompok Organisasi Beladiri Pencak Silat dalam Perspektif Sosiologi Olahraga".


"Saya melihat pencak silat merupakan salah satu cabang olahraga, ternyata malah tidak tampak dalam fenomena (kekerasan) ini," kata Harwanto yang kini menjabat Kepala Laboratorium Pendidikan Kepelatihan Olahraga Unipa Surabaya ini.


Fenomena kekerasan yang diteliti menunjukkan bahwa terjadinya bentrok antaranggota pencak silat di Madiun sudah cukup lama berlangsung. Lebih dari setengah abad konflik tersebut masih terus saja terjadi. Padahal kedua organisasi pencak silat tersebut berada di bawah induk organisasi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI).

"Saya melihat ada ketidaktuntasan perilaku di sana. Nilai-nilai olahraga yang penting seperti sportivitas, tanggung jawab dan menghargai orang lain, diabaikan dalam masalah ini," terang pengajar kelahiran Ngawi, 22 Oktober 1961 ini.

Harwanto yang melakukan penelitian sejak 2008 lalu itu, menunjukkan fakta bahwa banyak anggota dari kedua organisasi yang berkonflik tidak memahami nilai ajaran perguruan secara maksimal. Misalnya saja soal budi pekerti luhur yang seharusnya selalu dijaga oleh praktisi olahraga.

Yang terjadi selama ini adalah terjadinya sikap rasa bangga sebagai anggota ketika masuk ke organisasi pencak silat, dan selalu merasa besar diri. Mereka masuk ke perguruan silat untuk berlindung dan dibela. Sikap ini muncul karena status organisasi beladiri pencak silat memiliki kekuatan sosial, hubungan emosional dalam kelompok, dan mereka saling membantu sesama saudara seperguruan.

Harwanto memiliki beberapa tips untuk menanggulangi sikap-sikap negatif itu. Antara lain merekomendasikan agar kedua pimpinan organisasi berkomitmen mengakhiri konflik. Itu tidak hanya dilakukan sebatas MoU saja, melainkan juga dengan praktik di lapangan.

"Mereka harus melakukan sosialisasi secara terus menerus. Selain itu juga perlu ada silaturahim secara rutin sebagai fungsi kontrol anggota," Harwanto menjelaskan. (arief ardliyanto/koran si)(//rfa)

Minggu, 08 Januari 2012

Siswa Bule Belajar Silat Tradisional Bali

DAYA pikat Pulau Dewata tak hanya terletak pada pemandangan alamnya yang indah. Banyak seni budaya yang memikat para wisatawan. Satu di antaranya seni bela diri tradisional warga Bali.

Perguruan Sandhi Murti di Denpasar memperkenalkan seni bela diri itu kepada turis asing. Sejumlah wisatawan asal Bulgaria yang bertandang ke Bali tertarik. Banyak juga wisatawan yang mengenal kegiatan itu dari sejumlah teman yang lebuh dulu ke Bali. Mereka lalu menyempatkan diri berlatih warisan silat tradisional peninggalan leluhur tersebut.


Meski terkesan kaku, siswa-siswa bule itu mengaku cukup senang. Selain menambah daya tahan tubuh, mereka dapat menggunakan ilmu bela diri itu untuk mempertahankan diri dari serangan orang-orang jahat.

Sandhi Murti pun menggunakan jasa instrukstur asing untuk mempermudah pembelajaran. Para guru silat mengajarkan ilmu bela diri secara bertahap, mulai dari tingkat dasar seperti olah pernapasan dan meditasi, hingga aneka jurus gerakan silat.(Muhammad Nasri/RRN)

Prabowo: Pencak Silat Warisan Budaya Bangsa

Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Ketua Umum IPSI
Kupang (ANTARA News)
Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI), Letjen (Purn) Prabowo Subianto mengatakan, olahraga silat adalah warisan budaya leluhur bangsa yang harus tetap dilestarikan dan dipertahankan.

"Mengurus pencak silat, tidak sekedar mengurus olahraga, tetapi merupakan bagian dari upaya bersama untuk mempertahankan dan melestarikan budaya bangsa ini," kata Prabowo Subianto ketika melantik Andre Koreh sebagai Ketua IPSI NTT di Kupang, Minggu.



Andre Koreh saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTT dan pernah percayakan oleh PWI NTT menjadi Ketua Panitia Hari Pers Nasional 2011 di Kupang.

Prabowo yang juga mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu mengatakan, sebagai bangsa yang besar harus lebih menghormati budaya bangsanya sendiri ketimbang budaya bangsa lain.

Mantan Pangkostrad itu menambahkan, bangsa yang tidak menghargai budayanya sendiri akan menjadi bangsa yang lemah.

Dia melukiskan, banyak negara-negara asing yang mengirim orangnya bertahun-tahun tinggal di Indonesia untuk mempelajari olahraga silat yang merupakan warisan budaya bangsa ini, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain.

IPSI kota Semarang ikuti kegiatan PORWAKOS (Pekan Olahraga Warga Kota Semarang)
"Vietnam sempat menjadi juara olahraga pencak silat dunia karena belajar dari Indonesia. Begitupun Malaysia yang membawa banyak sekali ahli-ahli yang memiliki kemampuan untuk membuat songket ke Malaysia," katanya mencontohkan.

Mereka juga mengambil bibit-bibit ternak dari Indonesia yang bagus-bagus dan juga di bidang pertanian seperti bunga angrek yang terkenal di Singapura.

"Ini kelemahan bangsa kita yang tidak bisa mempertahankan warisan budaya bangsa ini di negara sendiri," kata Prabowo Subianto.

Karena itu, dia mengajak masyarakat NTT untuk menjadi bangsa yang tetap teguh menghargai dan merasa bangga dengan budayanya sendiri dan tidak menjadi kebanggaan bagi bangsa lain.

(T.B017/L003)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2012

Jumat, 04 Maret 2011

Pencak Silat in West Java

* Silat Cimande - along with Sera (monkey flow), Pamacan (flow tiger) and Trumbu (fighting sticks) is a martial arts stream end of a Grandparent established in the late 1700s in West Java. The art is still there in some villages in Sungai Cimande, including old-fashioned village Pull. Now there are more than 300 variations Cimande, including those in the Betawi. "pendekar" or Master Pitung also considered to study this flow.

    * Silat Cikalong - Pencak silat flow from Cianjur with the figure of its founder H. Ibrahim or R. Jaya Perbata, died in 1908. Scattered throughout the area of West Java and coloring some strands silat in West Java and the surrounding areas. Also known as Maen Po Cikalong Ulin, Cikalong stance adopted in some universities Silat Sunda, such as universities Silat Panglipur, Heritage Siliwangi and others.



    * Silat Budi Riksa Kiwari - College was founded by Mr. Ujang Jayadiman in 1982 in Bandung. Although the college age is relatively young, but has scored a lot of athletes do well in national and international level.

    * Silat Serak, Sera, is one of the flow Syera martial art that was developed by KH. Raden Sarean in Bogor, West Java. husky flow is derived from silat Cimande.

    * Silat Depokan, this flow comes from Bogor, seeing his trademark this flow has to do with Cimande and Hoarse. founder is the father of H. Job.

    * Margaluyu Pencak Center, founded by Abah Andadinata, is one of the pioneer universities in Indonesia.

    * Pencak Silat Padjadjaran Nasional - Education Silat which is the result of a merger Lima Silat Buhun flow and is based in Bogor, Founder of the National Padjadjaran University is Mr TB. Mochamad Sidik Sakabrata. This university has branches in various parts of Indonesia up to the Worldwide, among them the Netherlands, which is chaired by Mr. Eric Bovelander.

    * Silat Binasatria - in Cibinong. Precisely in MAN CIBINONG. This college, established in 1994. Developed by his professor that is Mr. Zaenudin.

Rabu, 05 November 2008

Suhartono: Taking pencak silat overseas



Indonesia suffered a setback when pencak silat champion Diyan Kristianto was injured while fighting Brunei Darussalam's Amirul Ahati during the recent Bali Asian Beach Games.

Ironically, the man who brought the Bruneian competitor to the point where he could vanquish a master of Indonesia*s home grown sport is himself Indonesian.

Suhartono, a former Indonesian pencak silat champion himself, began his journey to international prominence in 1995, when Vietnam asked the Indonesian Pencak Silat Federation (IPSI) to help them find a coach for their pencak silat team.


Suhartono, who at the time was helping Jakarta's team prepare for the 1996 National Games as head coach, said he initially refused the offer.

"I asked them to look for another coach, because I was preparing the team for the national games. I said I would only go if they didn't find anyone else. It turned out they couldn't, so I had to go, because I had promised," Suhartono said.

The father of two took coaching the Vietnamese athletes very seriously.
"The Vietnamese are a spirited people. They took learning silat maneuvers seriously. Their country's dedication to the sport helps silat's development," he said.

Suhartono helped Vietnam reach the top of international competition. Vietnam first demonstrated their new-found abilities at the 1999 Southeast Asian Games in Bandar Seri Begawan, where they earned three gold medals, three silver and two bronze. Indonesia, however, dominated the games with five gold medals.
At the 2001 SEA Games in Kuala Lumpur, the Vietnamese got revenge, defeating Indonesia. Suhartono's athletes brought home seven gold medals, three silver and two bronze. Indonesia won five golds, followed by Malaysia with three.

The achievement was repeated when Vietnam hosted the 2003 SEA Games. The hosts swept the games with seven golds, while Indonesia only brought home five.

In 1999 Suhartono's success in coaching the Vietnamese athletes bought him the prestigious honorable star medallion class III, an award bestowed on him by Vietnam's then president Tran Duc Luong.
Suhartono also received the Huan Chuong VI Su Nghiep The Duc The Thao award from Vietnam's National Olympics Committee.

After his success in coaching Vietnam's silat team, the Philippines' government asked him to train its athletes -- he accepted the challenge.

When coaching the Philippines team, Suhartono had an uncomfortable experience, caught between his team members and Philippines' intelligence agents. Three months before the 2005 SEA Games, at the French Open, the Philippines team won six gold medals and became the general champion, but six out of the 10 athletes refused to return to their home country.

Suhartono had to ask for help from the president of the International Pencak Silat Association (Persilat), Edi Nalapraya, to stop his interrogation.

Suhartono persevered, and prepared the four remaining team members for the 2005 SEA Games; they won one gold and two silver medals. But, his former team, Vietnam emerged as general champion, with seven gold medals. Indonesia followed with five gold medals.

After handling the Filipino athletes, Suhartono returned to Vietnam for a year to train the country's junior athletes before being asked by Thailand's Olympics Committee to train their team.

Seven months of training with Suhartono led the Thais to victory in the 2007 SEA Games with four gold, one silver and five bronze medals. Indonesia won five gold medals, while Vietnam won three.
In April 2007, Brunei's Olympics committee asked the master to handle their athletes until 2010. Suhartono said he might stay in Brunei for the next five years.

"It's a process. Within the first two years of my time in Vietnam for example, we could only win two gold medals in a world championship," Suhartono said.

In all his time coaching overseas teams, he faced a dilemma, knowing that he was sharing the knowledge and skill of his home land with its rivals.

But, standing on a base of professionalism, his strong will to develop the sport kept him focused.
"Many questions were raised concerning my nationalism, but I have to say that my goal is to develop silat around the world, so that Indonesian's traditional sport can be known everywhere.

"My calling is to prove my professionalism. It's not a question of nationalism. I will be ready at any time if Indonesia needs me," said the man, who returned to Indonesia to train the Bali team for the July National Games.

Suhartono says the key to his coaching success is research.
"A coach is not merely responsible for coaching but should become a researcher too. He should be up to date on the various techniques and know what to expect from a rival team," he said.

"Through this method a coach can combine techniques or even develop new ones," said Suhartono.
Suhartono is currently preparing a book on the development of pencak silat techniques throughout history, as well as a video on the fighting techniques.

The man, who began learning pencak silat when he was just 10 years-old, said he explored other martial arts, such as boxing and karate, to combine their techniques with traditional Malay martial art techniques.

To explore pencak silat techniques further he had to learn how to use computer visualization programs.
Before leaving for Vietnam, Suhartono modeled for an illustrated book on fighting techniques, prepared by IPSI's research and development division, in collaboration with the ministry of education. However, the book was never published.

"After the head of IPSI's research and development division died, nobody paid the project any attention and I was already abroad. What I taught abroad is actually the content of the book," said Suhartono.
English may also be one of the 51-year-old coach's keys to success.

Before forging his path as a professional pencak silat coach, Suhartono worked as a salesman of nuclear laboratory equipment, which gave him the opportunity to learn English.
"One of my advantages as a coach is my language skills, many coaches have problems communicating with foreign athletes," he said.

Suhartono said that the many perguruan (schools of pencak silat), each with its own stances, hampers the sports development.

With more than 800 perguruans, he said it would be hard to combine techniques and tricks -- especially if each perguruan was unwilling to cooperate.

"The problem with Indonesia is we have many systems but no willingness to sit together and evaluate the techniques and tricks or come up with new techniques to win fights".

He also cited the bad relationship between IPSI's leaders as an impediment to pencak silats development in the country.

"There is an unharmonious relationship among the leaders. Everybody should be at peace with each other to make good decisions for the development of pencak silat".
He urged them to come up with up to date techniques and work hard on research and development in order to win.

"A coach is not only a physical trainer but a technical and tricks trainer. Someone may be big and have great power, but without the right techniques and tricks he will lose easily".

Jumat, 18 Januari 2008

Silat Tjimande, Riwayatmu Kini

Khasanah persilatan Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata Cimande. Sebuah aliran pencak silat yang tergolong besar, terkenal dan memiliki pengaruh besar pada aliran lainnya di Jawa, Indonesia hingga luar negeri. Bagi khalayak umum di JABODETABEK, Cimande lebih dikenal sebagai ahli patah tulang yaitu memperbaiki tulang yang patah dengan cara tradisional. Begitulah cimande yang dikenal umumnya.

Untuk lebh mengenal lebih dekat apa itu Cimande, sabagai aliran Pencak Silat, Forum Pecinta dan Peletari Silat Tradisional (FP2ST) mengadakan kunjungan ke jantung Cimande yaitu desa Tarikolot.
 
Talang Dua
Dengan menggunakan dua mobil yang ditumpangi 10 orang, kami berangkat dari Jakarta ke arah Bogor/Ciawi. Hanya satu jam di jalan tol, kemudian keluar dan berbelok ke arah jalan raya sukabumi. Tidak berapa lama, kita akan menemui talang satu yaitu talang air yang melintang dan berada di atas jalan raya. Konon talang ini sudah ada sejak jaman Belanda dan merupakan sarana pengairan baik untuk sawah maupun kebutuhan lainnya dari penduduk setempat.
 
Agak jauh dari talang satu, kita akan menemui talang yang kedua (talang dua), biasanya di sisi kiri jalan sudah mulai banyak papan nama yang bertuliskan ‘ahli mengobati patah tulang’. Berjarak sekitar 3-5 meter dari talang dua ini, ada jalan raya ke kiri yang agak menanjak. Di ujung jalan ini dipenuhi tukang ojek. Kondisi jalan sudah beraspal dan tidak berapa lebar sehingga menyulitkan jika ada 2 mobil yang berpapasan dari arah yang berlawanan.

Tarikolot
Rombongan kemedian menyusuri jalan aspal yang agak sempit namun bisa dilalui satu mobil ini. Melewati jalan yang berliku, naik turun, rumah penduduk, persawahan dan setelah sekitar 2-3 kilometer akan bertemu dengan simpang 3, dengan papan penunjuk jalan bertuliskan ‘Tarikolot’. Maka berbeloklah ke kiri, ke arah tarikolot, dengan jalan yang menurun dan sempit. Berada di daerah yang tergolong cukup tinggi, hawa di tarikolot tergolong sejuk dan menyegarkan.

Tidak jauh dari simpang tiga ini, di sebelah kiri jalan kita akan menemui rumah salah seorang tokoh dan sesepuh pencak silat Cimande, Bpk Acep Sutisna.



Cimande, Sungai yang mengalir
Gerimis menymabut rombongan, ketika keluar dari mobil dan bergegas menuju rumah Pak Ace Sutisna yang sebelumnya sudah diberitahu via sms.

Setibanya di rumah kami disambut oleh Pak Ace, juga anaknya Kang Asep. Bagi yang pertama kali bertemu, sosok Pak Ace memang terkesan biasa saja. Tidak terlihat kesan sangar bahwa dia seorang pendekar Cimande yang mumpuni. Tubuhnya malah tergolong kecil dan kurus tanpa kumis atau jenggot yang menyeramkan. Tidak juga telihat akar bahar dan gelang hitam di pegelangan tangnnya, sebagaimana citra dan kesan orang akan pendekar cimande nan sakti.

Soal penampilannya ini, Pak Ace berkisah, pernah ada tamu dari jawa timur atau daerah lainnya yang ketika bersalaman dengan beliau dengan ragu bertanya untuk memastikan apa benar berhadapan dengan Pak Ace yang Pendekar Cimande. Kendati sudah dijawab bahwa beliau sendiri adalah Pak Ace, tamu tersebut masih juga kurang percaya,sehingga dalam pembicaraan selanjutnya tidak kurang hingga tiga kali tamu tersebut bertanya lagi memastikan apa benar berhadapan dengan Pak Ace yang terkenal itu. Mungkin citra pendekar cimande yang dibayangkan berbeda dengan kenyataan.
Sungguh, kita tidak bisa menilai orang sekedar dari penampilan lahiriah/luarnya. Kata thukul “itu kan Casing-nya” (maksudnya: kulitnya saja…)

Lalu Pak Acep mulai bertutur soal Cimande. Menurut beliau, Desa Tarikolot dapat dianggap sebagai sumber dan asal usul cimande. Di desa ini yang kebanyakan adalah keturunan Eyang Rangga, yang memiliki murid berbakat yaitu Mbah Khair (Pencipta Cimande), yang di kemudian hari terkenal dan diyakini sebagai pencak silat Cimande. Hingga saat ini ilmu warisan karuhun tersebut masih dilestarikan dan terus dikembangkan khususnya di Kampung Tarikolot, Desa Cimande.

“Bisa dikatakan setiap rumah berlatih dan memiliki tradisi cimande sendiri sendiri”, ujar Pak Ace. Memang kendati Cimande diyakini diciptakan oleh Eyang (Mbah) Kahir, beliau tidaklah memiliki keturunan, sehingga para muridnya dan keturunan dari Eyang Ranggalah yang melestarikan dan meneruskan amanat leluhur ini.
Cimande sendiri adalah nama sungai di bawah desa yang mengalir dan di tepi sungai itulah dulunya Eyang Khair tinggal sehingga aliran pencak silat yang diwariskan oleh beliau dinamakan aliran cimande. Di dekat sungai inilah dulunya Eyang Khair bertempat tinggal dan di sungai tempat murid-murid Cimande berlatih maenpo. Belakangan makna baru diberikan bagi nama cimande baik dalam konteks bernuansa religi maupun budaya Sunda.


Cimande sebagai sumber dan memiliki 5 aspek
Pak Ace menjelaskan bahwa cimande memiliki 5 aspek, dan bukan sekedar 4 aspek, dalam maenpo-nya (pencak silat sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya/tradisi, beladiri, spiritual dan pengobatan. Aspek terakhir yaitu pengobatan termasuk pijat/urut gaya cimande dan pengobatan patah tulang.

Dalam proses pijat dan pengobatan ini biasanya digunakan minyak cimande. Ditambahkan oleh Kang Asep, anak kandung dari Pak Ace, bahwa semuanya berasal dari pencak (maenpo) cimande. Minyak cimande yang unsurnya pembuatnya terdiri dari minyak kelapa dan sari tebu dan lainnya ini, dulunya dinamakan ‘minyak pencak’. Minyak ini digunakan ketika berlatih sambut tangan dalam aliran cimande.

Demikian juga tehnik dan cara pengobatan patah tulang, yang belakangan berkembang untuk pengobatan kesehatan lepas dari pencak silat, sebagai pelayanan kepada masyarakat. Pengobatan patah tulang sebenarnya adalah bagian dari pelajaran pencak cimande akan pengenalan anatomi tubuh; termasuk kekuatan dan kelemahannya serta bagaimana cara memperbaiki atau merusaknya. Tentu saja dalam pengobatan patah tulang adalah bagaimana cara memperbaikinya.

Dalam memberi pelayananan urut atau pengobatan patah tulang, umumnya ahli atau pendekar cimande kurang mau mempublikasikan diri. Agar menghindari ria-takabur sebagaimana diamanatkan oleh talek Cimande. Pada kesempatan yang langka ini, banyak juga anggota rombongan, termasuk penulis, yang merasakan langsung pijatan dan urut-an khas cimande lengkap dengan minyak cimande yang demikian cepat meresap ke kulit.
 
Pencak Silat Cimande
Dalam pandangan Pak Ace, pencak silat cimande sebenarnya bagian dan keseharian dari kehidupan kita manusia. Misalnya jika ada yang mau memukul, secara refleks tangan kita menagkis. Atau jika mau jatuh, maka tubuh dan kaki kita langsung menyesuaikan.

Hanya saja oleh Abah Khair, hal tersebut diramu dan dirumuskan dalam bentuk pelajaran yang tersistematis dan gampang untuk dipelajari..Jadilah maenpo Cimande.

Seperti sudah banyak diketahui khalayak, aliran cimande terdiri dari 33 jurus kelid cimande, pepedangan dan tepak selancar. Tangan adalah permainan dominan. Kaki lebih merupakan pancer dan tempat berpijak yang harus dijaga keseimbangannya.

Menurut Kang Asep, saat ini cara berlatih cimande sedikit disempurnakan , yaitu dengan cara menghapal jurus etrlebih dahulu dengan benar hingga 33 jurus, sambut berpasangan, lalu belajar pepedangan dan diakhiri dengan tepak salancar.

Dengan hapal dulu jurus yang 33 itu diharapkan siswa dapat mengetahui gerakan yang benar, cara menangkis, mengelak , memukul dan lain lain. Dalam satu jurus ada yang satu gerakan atau 4-5 gerakan,.
“Sederhana dan tidak panjang-panjang sehingga gampang dihapal”, tukas Kang Asep. Sesudah itu diolah lebih lanjut dalam rangkaian gerak baik dalam bentuk sambut berpasangan dengan posisi duduk (atau kadangkala berdiri) yang disusul dengan pepedangan. Dalam “sambut-tangan” dalam duduk berpasangan ‘mengadu tangan’, dengan tingkat kekuatan tenaga yang semakin meningkat. Akhir semua pelajaranbaru diberikan tepak salancar.

Cara ‘adu tangan’ ini juga sebenarnya banyak tehnik dan menggunakan tenaga dengan efektif. Hal inilah yang mengesankan bahwa praktisi Cimande memiliki tangan yang kuat laksana besi dengan otot-otot kawat yang keras dan pejal. Tapi melihat tangan Pak Ace dan Kang Asep, terlihat biasa saja, seperti tangan orang biasa, tidak tampak otot-otot menonjol bak atlit binaraga. “Tangan yang kuat diperlukan untuk membendung serangan lawan”, kata Kang Asep. Sebagai sarana pertahanan dan sekaligus alat serangan, tangan dalam cimande mendapat latihan secara khusus, melalui sambut maupun latihan benturan lainnya.

Prihatin
Menilik perkembangan Cimande sebagai aliran silat yang besar dan berpengaruh dalam jagat persilatan dunia, Pak Ace sebenarnya turut berbesar hati. Namun hal tersebut kurang diimbangi dengan kuatnya persatuan dan persaudaraan pada tubuh internal kelaurga cimande khusunya mereka yang berada di desa tarikolot sebagai pusat dan sumber cimande. “iutlah sebabnya saya tidak setuju nama cimande dibawa-bawa dalam kegiatan dukung mendukung kontestan pilkada atau berpolitik lainnya”, tegas PakAcep.

Sebagai suatu aliran, cimande hendaknya netral dan lebih menekankan faktor budaya dan akhlak sesuai talek cimande, yang adalah semestinya pegangan utama para pelaku Cimande. Belum lagi kalo mengalami ‘kejatuhan’ maka akan merusak cimande secara keseluruhan.

Kendari demikian tetap saja, sebagai manusia, masih ada kelemahan. Ada yang silau oleh kesaktian hingga mengklaim bahwa ilmu kanuragan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Cimande. Ada yang terperangkap oleh jeratan fulus alias duit sehingga mau melakukan apa saja yang tidak ada hubungan dengan pencak silat ataupun semata demi komersialisasi sehingga dengan mudah dimanfaatkan pihak luar untuk kepentingan mereka. Kendati kita dapat menemui beberapa padepokan cimande yang ada di Desa Tarikolot, sayangnya antara satu padepokan dengan yang lainnya terjalin hubungan yang agak longgar dan kurang rapat-erat.

Sungguh suatu kondisi yang memprihatinkan, ungkap Pak Acep. Sambil berharap agar keadaan dapat lebih baik dengan berbagai daya upaya untuk memperbaikinya.

==

Inilah Cimande dengan berbagai kelebihan dan masalahnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Cimande tetaplah kekayaan budaya bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan bersama.
Setelah ‘mengecap’ Cimande dan bersentuhan langsung dengan pendekar-nya, rombongan FP2STI pun kembali ke Jakarta, ketika gelap mulai turun dan malam yang mendung datang menjelang.
Jakarta, 27 Desember 2007

Ian Syamsudin
(edit 18 januari 2008)
Artikel ini pernah di Publikasi di Koran POSKOTA pada bulan Januari 2008

by: http://pencaksilat.wordpress.com/2008/05/23/cimande-riwayatmu-kini/

Minggu, 11 Januari 2004

Sejarah Singkat Asal Usul Silat Tjimande

Belajar dari Pertarungan Monyet dan Macan




Mythos Maenpo Cimande (Tjimande) - Inilah Sejarah Silat Tjimande
Tak jauh di tepian sungai Mande sebuah keluarga pedagang bernama Kahir (lebih dikenal dengan panggilan Mbah Khair atau Abah Khaer) hidup tinggal temtram dan damai. Di suatu hari istrinya pergi ke sungai untuk melakukan kegiatan sehari-hari mencuci pakaian, makanan dan membuang hajat. Di saat istrinya mencuci pakaian di seberang tampak segerombolan monyet memungut buah kupak di tepian sungai, selang waktu kemudian datang seekor macan (maung) di tempat yang sama.

Monyet-monyet itu merasa terusik kenyamanannya dengan kedatangan macan, monyet-monyet itu menjerit jerit mengeluarkan suara sekeras-kerasnya. Suasana itu mengejutkan istri mbah Khair untuk memperhatikan keadaan, melihat kemungkinan apa yang terjadi.

Macan itu marah

Selasa, 19 Januari 1999

Edi Nalapraya at the "Soeharto Properties" article:


 
-----Original Message-----
From: George Aditjondro <[EMAIL PROTECTED]>
To: Martin Manurung <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 19 Januari 1999 2:51
Subject: Re: Suharto properties (2)


Martin -- yg di London itu yg saya mau foto-foto, utk persiapan menggugat
balik si Probo.

APPENDIX: PARTIAL LIST OF THE SOEHARTO CLAN'S OVERSEAS ASSETS
----------------------------------------------------------------
United Kingdom:
-----------------------
Sigit Harjojudanto, owns two houses at:
-------------------------------------------------------
= 8 Winington Road, East Finchley
= ... Winington Road, East Finchley: 13 bedrooms; one of these houses is in
front of Sultan Hasanah Bolkiah's mansion.

Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) owns:
-------------------------------------------------------
= two luxurious apartments on Hyde Park Crescent, near Kensington Palace.

Siti Hediyati Haryadi (Titiek Prabowo) owns:
--------------------------------------------------------------
=  a luxurious apartment behind the US Embassy at Grosvernor Square.

Probosutedjo owns:
---------------------------
= Norfolk House, 38A Putney Hill, London SW15/6 AQ:  three stories with
basement, worth between 1-2 million Poundsterling. The caretaker of this
property is Hamid Syaab, an Indonesian embassy staff, who stays in that
house with some Indonesian students who receive their scholarship from
Probosutedjo. Probosutedjo also stays in that house when he comes for
recreation (as a tennis player and owner of the Mercu Buana tennis club, he
likes to watch the Wimbledon tournament, which is only three subway
stations away), or for his business trips, accompanied by his confidant,
Tri Widodo. He also often treats journalists and pro-Suharto Muslim
activists, such as Lukman Harun, the former chairperson of the Muhammadiyah
Youth Organization, by inviting them to stay for a certain period in this
house of his, covering all their expenses, including airfares from/to
Jakarta. Other cronies of Suharto who have been guests in that house are
the children of (Ret.) General Edi Nalapraya, former commander of the
Jakarta army division and a co-shareholder in

According to Probosutedjo, he bought this property between 1973 and 1974
for 93,000 pounds and is now worth more than one million pounds. According
to a second source, the property was bought for only 13,000 pounds, and is
indeed now worth around one million pounds. Then, according to a third
source, the property was already valued at 1.3 million pounds, but
Probosutedjo does not want to sell it unless it can earn him 1.5 million
pounds.

Tommy Suharto (or Sigit Harjojudanto) owns:
-----------------------------------------------------------------
= golf course outside London. According to one source, Tommy bought the
old, worn-out golf course through a public offering (tender), while
according to another source, it was Sigit Harjojudanto who bought the golf
course, recently, when the Indonesian currency (rupiah) was at its lowest
to the Western currencies.

(sources: Tiara, Dec. 5, 1993: 35; Forum Keadilan, June 1, 1996: 47; Dewi,
June 1996; Swa, June 19 - July 9, 1997: 85; Far Eastern Economic Review,
April 9, 1998; Kompas, Sept. 30, 1998; Gatra, Sept. 26, 1998: 59; key
informants: students, journalists, former employees and business partners
in the U.K. and Indonesia)

United States of America:
-----------------------------------
Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) owns the following two houses in
Massachussets which are inhabited by her son, Dandy N. Rukmana and her
daughter, Danti I. Rukmana, and Danty's own baby (father unknown):
--------------------------------
= 60 Hubbard Road, Weston, MA 02193 (since July 1995): this property is
valued at over US$ 2 million. It is held in the name of a trust which is
overseen by a Boston lawyer named Mr. Willard McGraw. Weston is about 20
miles from Boston in the suburbs settled in the 1960s. It is a posh place.
= 337 Bishops Forest Drive, Waltham, MA 02154 (since February 1992): this
property is valued at US$ 352,000 and is listed under the name of a woman
named Cheryl L. Davis. Waltham is about five miles from downtown Boston or
three miles from Harvard Square in Cambridge.

Sudwikatmono (Suharto's cousin) owns two houses in California (CA) at:
----------------------------------------------------------------------------
--
= 605 N. Hillcrest Drive, Beverly Hills, CA 90210: the owner listed for
this property is C. Elliott Fitzgerald, who bought it on February 7, 1998
from Meya T. Fitzgerald. This change of ownership seems to be very recent,
namely after Suharto stepped down from presidency on May 21, 1998. The
house itself has been known by Indonesians in Los Angeles as Sudwikatmono's
property since the late 1980s, since three of Sudwikatmono's siblings
stayed in that house during their tertiary education at colleges in the
L.A. area. This first house of the Sudwikatmonos is now rented out.

= 701 N. Hillcrest Drive, Beverly Hills, CA 90210: the owner listed for
this property is Hillcrest Inc., or listed on another document as New
Hillcrest Inc., with its mailing address on 650 Town Center Drive # 6,
Costa Mesa, CA 92626. This property is valued at US$ 4,929,718. It appears
that New Hillcrest Inc. bought this property on August 8, 1994 from
Prestige Investment Company. This second house of the Sudwikatmonos is
still being used by them, and the Lamborghini jeep of Sudwikatmono's only
son, Agus Lasmono, is often parked at this house. Its daily inhabitants --
or prisoners! -- are two Indonesian housekeepers, who are not allowed to
leave the house since their presence has not been reported to the US
Immigration and Labor offices. There are two phones in this property,
namely (310) 550-8604 in the living room, and (310) 550-060, which is in
Sudwikatmono's bedroom.

A further search for Hillcrest Inc. under the Secretary of State filings
revealed that it is affiliated with Indohillcrest and Edward B. Djang. Mr.
Djang has many business entities in the U.S. So far, the name does not ring
a bell for me.

Sudwikatmono also owns a condominium in Hawaii (HI) under his own name at:
----------------------------------------------------------------------------
----
= 5333-290 Likini St. PH, with a mailing address at 1188 Bishop Street, Ste
2703, Honolulu, HI 96813: according to computerized tax assessors
information in the US, this property appears to have been purchased in May
1985 for US$ 216,400. It is currently assessed at US$ 253,000.

Bambang Trihatmodjo, Suharto's second son, and his wife, Halimah Agustina
B.T.. own the following luxurious condominium in Century Citry, neighboring
Beverly Hills:
----------------------------------------------------------------------------
----
= Apartment No. 316 at 2142 Century Park Lane, CA 90067, bought on February
24, 1992, for US$ 825,000. The mailing address of this property is 1055
Wilshire Boulevard, # 1880, which is popularly known as "the Indonesian
office" and has officially two names, namely: "HBE California Pacific
Design" and "American Asian Properties", run by an Indonesian couple, Han
and Evie Moeljadi, phone no (213) 481-0567. They themselves have two
properties under their name, namely Apartment No. 216 in the same building
with Bambang & Halimah's apartment, and a property on 13414 Edgebrook Road,
La Mirada, CA 90638.

= Other apartments/condominiums in the same Century Park Lane building,
associated with Bambang are:
------------------
= Apart. No. 408, under the name of Rosano Barack and Sadlah, which was
bought on June 14, 1991 for US$ 960,000, and has the same mailing address
as the one above. Rosano Barack, or popularly known as "Cano", is a former
school mate of Bambang and co-shareholder of his main business group,
Bimantara;

= Apart. No. 208, under the name of Rositah Gozali, which was bought on
October 1, 1991 for US$ 859,000, and has the same mailing address as above.
Rositah Gozali is most likely a relative of Boyke Gozali, CEO of the
Ometraco Group, an Indonesian business conglomerate closely linked with
Bimantara and Bambang personally in several joint ventures in huge property
projects in Jakarta (Grand Hyatt Hotel & adjacent Plaza Indonesia shopping
mall; Block M shopping mall) and Bali (Bali Turtle Island Development
project) and in several poultry and poultry feed companies;

Other companies associated with Bambang which own properties in the
vicinities are:
----------------------------------------------------------------------------
----
= Future Tree Investment Ltd.: this company is listed as having also bought
the same apartment as  Bambang's No. 316 apartment at 2142 Century Park
Lane on July 29, 1992 for US$ 820,000, and has the same mailing address on
1055 Wilshire Boulevard # 1880. In addition, the same company bought Apt.
No. 103 in the same Century Park Lane building on April 11, 1991 for US$
581,000, as well as another property on 1708 Clear View Drive in Beverly
Hills on September 1, 1992 for US$ 650,000. Then, with a slightly different
name, namely Future Tree Investment Ltd. North USA, it bought a property on
1021 Cove Way, also in Beverly Hills, on September 27, 1993 for an
incredibly low price of US$ 50,000. Obviously, this warrants further
investigation!

= Rajawali USA Inc.: this company is most probably a US subsidiary of the
Rajawali Group, a conglomerate directed by Peter Sondakh which is closely
associated with Bambang Trihatmodjo as well as with Boyke Gozali's Ometraco
Group. Under the same mailing address as all the properties mentioned
earlier, this company is listed as having bought a property on 2846 Deep
Canyon Drive, Los Angeles, CA 90210 (Beverly Hills?) on February 28, 1991
for US$ 2,000,000. It was also involved in purchasing an undisclosed
property on November 15, 1993 for US$ 23,500,000. Again, this warrants
further investigation!

Bambang Trihatmodjo, according to my sources in Beverly Hills and in
Jakarta, has also obtained a  luxurious condominium in the gated community
of Beverly Park. The purchase was carried out by executives of the Ometraco
Group. This information correlates with information from the property
records which showed the earlier mentioned Bambang connections, namely that
two lots (33 and 50) in Beverly Park were purchased on August 31, 1992 for
US$ 2,300,000 and US$ 2,100,000, while the earlier sales prices on January
29, 1988 were exactly the same, namely US$ 23,500,000. A third lot (62) was
purchased on October 15, 1993 for US$ 1,500,000, while its earlier sales
price, also on January 29, 1988, was also US$ 23,500,000. The buyers of
these three lots on Beverly Park were only known by their "company" names,
Lot 33 Beverly Venture Inc, Lot 50 Beverly Venture Inc, and Lot 32 Beverly
Park Inc. So, this really deserves further investigation by observing the
actual properties and by interviewing Mr. and Mrs. Moeljadi.

(sources: Eksekutif, March 1990: 133-134; Tiara, December 5, 1993: 35; Far
Eastern Economic Review, April 9, 1998; Ottawa Citizen, May 16, 1998; key
informants: academics, pro-democracy Indonesian activists, pro-East Timor
activists, and journalists in the USA and Indonesia)

Caribbean:
---------------
Vacation houses on Cayman Islands (B.W.I.) and the Bermuda Islands.

(sources: Ottawa Citizen, May 16, 1998; Die Welt, May 23, 1998)

Jordania:
------------
Prabowo Subianto, the recently dismissed general and son-in-law of Suharto,
has moved to Amman, where he has opened the Middle Eastern representative
office of Tirtamas Group, the business conglomerate co-owned by his younger
brother, Hashim Djojohadikusumo, a business ambassador of the Habibie
Administration, and Titiek, Prabowo's wife. Thereby Prabowo obviously also
has a house under his or Tirtamas' name in Amman.

(source: Tempo, January 2, 1999).

Suriname:
---------------
Raden Notosoewito, Suharto's stepbrother from Kemusuk Village, Bantul
County, Yogyakarta, is the head of the Kemusuk Somenggalan Foundation
(Yayasan Kemusuk Somenggalan). This foundation is the holder of the stocks
of PT Mitra Usaha Sejati Abadi (MUSA), holding company of a conglomerate
which owns various businesses in Indonesia, Singapore, Hongkong, and
Suriname.

In Suriname, MUSA has obtained concession of 150,000 hectares of forests at
the Apura District, western Suriname, an investment of US$ 1.5 billion.
This concession, and MUSA Group's practice purchasing wood from outside the
concession area, have been attacked by environmentalist worldwide. Besides
the damaging environmental and cultural effects on the Amerindian Maroon
tribe, their method in obtaining these concessions are also under
attention, the 'high-level diplomacy' between Suharto, whom as the leader
of the Non-Aligned Movement at that time, with Suriname ministers of
Javanese ethnicity, especially the Social Minister Willy Sumita. This
high-level displomacy, where $ 9 million of bribe money allegedly exchanged
hands to the
politicians is known there as "The Indonesian Connection." One of the
approaches of the Kemusuk Somenggalan Foundation, which operates out of the
Indonesian Embassy in Paramaribo, is to offer help in renovating the
Suriname Presidential Palace. This project
was proposed to be developed by a company under MUSA itself.

(sources: Kompas, March 15, 1993, p.14 [the congratulatory advertisement on
the election of Suharto as the President and Try Sutrisno as the vice
President of Indonesia]; EIA, 196: 32; Skephi & IFAW, 1996; Friedland &
Pura, 1996; Harrison, 1996; de Wet, 1996; Toni and Forest Monitor,
1997: 26-27, 29-30)

Aotearoa (New Zealand):
-----------------------------------
The hunting area of 2,500 hectares called Lillybank Lodge at the foot of
Mount Cook and besides the Lake Tekapo on the Southern Island, which
license was bought from the New Zealand
government by Tommy Suharto in 1992. The total investment to obtain the
license and to upgrade the properties into a luxurious mansion have
amounted to NZ$ 6 million.

(sources: AFP , 20 Mei 1998; Australian Financial Review , May 27 1998;
homepage: www.lilybank.co.nz ; G.J. Aditjondro's field investigations at
Lilybank in February 1998)

Australia:
----------
"Obsessions," a luxury cruiser belonging to Tommy Suharto, valued at Aust$
16 million, parked at
the Cullen Bay Marina in Darwin.

Merger between the billboard advertising firm from Melbourne, NLD, with
the Humpuss Group of Tommy & Sigit, in 1997, along with the purchase of
the stocks of the largest outdoor advertising firm in Malaysia, BTABS (BT
Advertising Billboard Systems), giving Tommy and his Australian partner,
Michael Nettlefold, with concessions to erect and operate billboards along
the tollroads and freeways in the State of Victoria, Australia, Malaysia,
Philippines, Burma, and China.

(sources: Tempo, December 3, 1997: 8-9; Info Bisnis, July 1994: 9-23;
Kontan, March 10, 1997; Australian Financial Review, December 17, 1997,
March 13, 1998; Weekend Australian, August 10-11, 1998; Sydney Morning
Herald, August 17, 196, December 11, 1997, April 6, 1998; The Suburban,
Darwin, June 11, 1998; Port Phillip/Caufield Leader, June 22, 1998; various
sources)

Singapore:
--------------
The oil and gas tanker company, of Bambang Trihatmodjo, et. al., Osprey
Maritime, owns and operates a total of 30 tankers, with net worth over  US$
1.5 billion. Since June 1996, two of Osprey's tankers are contracted by the
Saudi Basic Industrial Corporation to deliver oil and petrochemical
products from Saudi Arabia to other countries. With the acquisition of a
Norwegian tanker company listed in Monaco, Gotaas-Larsen, Osprey Maritime
has became one of the largest oil-gas shipping company in Asia.

(sources: Economic & Business Review Indonesia, June 5, 1996; Asiaweek, May
23, 1997: 65; LNG Current News, February 13, 1998)

Tommy & Sigit's oil-gas tanker company, Humpuss Sea Transport Pte. Ltd., is
one of the subsidiaries of PT Humpuss Intermoda Transport (HIT), which in
turn is part of the Humpuss Group. In a joint venture with the Japanese
company Mitsui O.S.K. Lines -  operate the 13 oil-gas tankers and their
LNGs, with a long-term contract with Taiwan.

(sources: Swa, May 1991: 45-46; Prospek, January 18, 1992: 40-43; Info
Bisnis, November 1994: 12; Jakarta Post, November 20, 1997)

Probosutedjo also owns a property in Singapore.

(source: undisclosed sources)

Malaysia, Philippines, Burma, and China:
----------------------------------------------------------
In these four Asian countries, Siti Hardiyanto Rukmana still controls the
following toll roads:

= 166.34 km toll road between Wuchuan - Suixi - Xuwen in China;
= 83 km Metro Manila Skyway & Expressway in Luzon, Phillipines;
= 22 km toll road between Ayer Hitam and Yong Peng Timur, which is part of
the Proyek Lebuhraya Utara Selatan toll road, measuring 512 km, connecting
Singapore, Johor, into the Thailand border in Malaysia;
= ?? km toll road shared with the Union of Myanmar Holding Co. in Burma.

(souces: Info Bisnis, June 1994: 11-12; Swa, June 5-18 1997: 47; AP,
February 21, 1997; Economic & Business Review Indonesia, March 5, 1997: 44)

Asia - Pacific and Europe:
--------------------------
Sudwikatmono is a minority shareholder (10%) in the transnational First
Pacific Group, based in Hong Kong and lead by a professional manager from
the Philippines, Manuel Pangilinan. The property division of this TNC is
called First Pacific Davies, which owns hundreds of branch offices
in the Asia-Pacific region, and is the owner/manager of million dollars
worth of real estates. Starting on October 1, 1998, this company changed
its name to FPD Savills, after purchasing a minority share of the British
property consulting company, Weatherall Green & Smith (WGS).

Although Sudwikatmono is only a minority shareholder, with FPD's assetts of
US$ 5.2 billion in 1995, with the stock price in the Hong Kong stock
exchange of over US$ 3.3 billiob, this company with property of over 45,000
employees in 40 countries is like a very productive milking cow for the
Suharto family.

With the formation of a new joint venture with WGS, FPD Savills has new
branch offices in Frankfurt, Berlin, Dusseldorf, Muenchen, Essen, Madrid
and Paris, and expansion plans to the Netherlands, Italy, Swiss, Greece,
Ireland, Sweden, Denmark, and Finland is at hand.

(sources: The Australian, Sept. 23, 1996 (First Pacific's advertisement),
Sept. 18, 1996; The Australian Financial Review, April 17, 1998; South
China Morning Post, Sept. 24, 1998; Soetriyono, 1988: 66)

Conclusion:
-----------

This list only covers a fraction of the wealth of the Suharto family, in
the form of houses, hunting areas, luxury cruisers, and property companies
and tanker companies that are completely or partially owned by the family
of the former third richest head of state in the world, according to Forbes
Magazine. This does not include their shares in hundreds of companies
abroad.

If the Habibie Administration is sincere in trying to solve the basic foods
problem for the peasants, and in investigating Soeharto's ill-gotten wealth
and trying him for corruption and human rights violations during his
32-year rule, then Habibie should strongly persuade all those host
governments to confiscate, sell and repatriate all the wealths of the
Indonesian people which have been amassed by the Suharto family and their
cronies.

Newcastle, New Year 1999

References:
----------------
Aditjondro, G.J. (1996). Bali, Jakarta's colony: social and ecological
impacts of Jakarta-based conglomerates in Bali's tourism industry. Working
Paper No. 58. Perth: Asia Research Centre, Murdoch University.
----------------  (1997). "The globalization of Suharto's East Timor
diplomacy: a political economy perspective," Estefeta. Vol. 3/No. 2,
May-September. Manila/Davao: Institute for International Dialogue (IID),
pp. 46-54.
Cohen, Margot (1998). "Daughter-in-Waiting," Far Eastern Economic Review,
April 9.
EIA (1996). Corporate Power, Corruption & The Destruction of the World's
Forests: The Case for a New Global Forest Agreement. London: Environmental
Investigation Agency (EIA).
Friedland, Jonathan and Raphael Pura (1996). "Asian timber firms set sight
on the Amazon," The Wall Street Journal Interactive Edition , 11 Nov.
Gray, Denis (1996). "How Asia's logging companies are stripping the world's
forests," Sydney Morning Herald , Aug. 31.
Harrison, David (1996). "Loggers 'out of control' in forest chainsaw
massacre," Guardian Weekly , Sept. 15.
Skephi & IFAW (1996). Asian Forestry Incursions: Indonesian Logging in
Surinam. Jakarta/ Amsterdam/ Yarmouth Port: Skephi (NGO Network for Forest
Conservation in Indonesia) dan International Fund for Animal Welfare (IFAW).
Soetriyono, Eddy (1988). Kisah Sukses Liem Sioe Liong. Jakarta: Indomedia.
Toni, Anna and Forest Monitor (1997). Logging the Planet - Asian Companies
marching accross out last forest frontiers: An Overview of Asian Companies,
in particular Malaysian Companies. Greenpeace's submission to the Brazilian
Parliament's External Commission about Foreign Logging Companies in the
Amazon. Berkeley, CA: Greenpeace International.
de Wet, Heather (1996). "Fears in the forest," Guardian Weekly , July 21.

. Sejarah Pergerakan Islam ..

Rubrikasi

Denah Tempat Pelatihan Silat Tjimande H. Sugito

Entri Populer

Kontak Hotline 081.385.386.583 - (021)9346.1965 - (021)932.74925

Gule Kepala Ikan Tjimande

. Kelana .. Kuliner .